Chapter Text
Hujan rintik, lalu angin kencang.
Tidak biasanya angin kencang datang ke Amsterdam. Hujan memang kadangkala turun, namun jarang hujan turun begitu kencang sampai membuat air hujan berbunyi keras menghantam kaca jendela. Beruntung bagi Will di saat seperti ini ia tidak sedang bekerja. Saat ini, ia bersantai saja di rumah, menikmati hidup, dan lanjut menulis dengan suasana terbaik yang bisa ia dapatkan.
“Kau sedang apa?”
Rangga datang mendekat kepadanya. Satu nampan berisi stroopwafel yang ia beli kemarin dan segelas teh earl grey. Asap tipis dari gelas teh masih nampak jelas. Hangat, dan aromanya menenangkan sekali. “Serius sekali, sepertinya.” Rangga tersenyum kecil. Pria ini memang selalu serius, apapun yang ia lakukan.
“Oh, menulis saja.”
Dalam bahasa Belanda.
Rangga tentu bisa mengerti. Fasih, bahkan. Ia sudah hidup cukup lama untuk dapat membaca, berbicara, dan menulis bahasa si bedebah itu. Sekadar 'fasih' terasa seperti ejekan. Bahasa Belanda sudah seperti bahasa ibunya sendiri, maka dari itu hanya butuh sekilas saja agar Rangga bisa mengerti apa yang—huh.
“...kau menulis ceritaku?”
Rangga tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Kenapa?”
Will menengok ke arahnya, ia mencelup satu stroopwafel dan memakannya saat wafer tersebut sudah lembek. “Ceritamu tidak masuk akal, tapi cukup menghibur…” ia tersenyum. Jarang sekali. “Dan sepertinya kau juga tidak akan keluar dari rumah ini dalam waktu dekat, bukan? Sampai kau punya uang untuk membayar tempat tinggalmu di sini, kau bayar dulu saja dengan cerita-cerita tidak masuk akalmu.”
Rangga tidak merasa ini masuk akal pula, namun ia hanya tersenyum kecil.
“Dasar pelit. Aku akan membayarmu sebentar lagi, jangan khawatir.” Ia duduk di hadapan Will, ikut memakan satu keping wafernya. Kalau hanya uang, tentu saja ia punya. “Aku tidak merasa ceritaku menarik. Itu hanya… entahlah.”
Memori masa lalu.
Memori yang tidak masuk akal, yang ia ceritakan karena ia menyesal untuk alasan yang tidak jelas kenapa pula.
“Sayang saja kalau terbuang sia-sia, aku bisa mengganti beberapa bagian supaya lebih terdengar masuk akal. Barangkali saja ceritanya bisa terjual.” Will kembali menatap Rangga dengan tatapan penasaran. “Kau tidak masalah jika aku menuliskan ceritamu, bukan?”
Tentu saja tidak.
“Mata duitan.” Rangga berdecak kesal, ia memajukan tubuhnya, menatap kedua mata Will, dalam. Jarak di antara mereka semakin mendekat, namun Will terlihat santai saja. “Kalau kau bisa membuat ceritaku lebih indah, kenapa tidak?”
Senyum sombong khas Will malah muncul di sudut bibirnya.
Will bukan si bedebah itu; hanya saja kebetulan wajahnya mirip sekali dengan dia.
Will hanya seorang manusia.
Ia hanya kebetulan mau peduli pada kehidupannya dan bukan dengan alasan yang paling tulus pula. Biar begitu, Rangga tetap merasa sedikit kebahagiaan di hatinya. Serasa ia mendapatkan pelampiasan setelah lama tidak bertemu dengan si bedebah itu.
“Jadi, bagaimana lanjutannya?”
Rangga memang jahat, tapi...
...kelanjutan ceritanya?
Oh, meneer … Cerita kami jauh lebih panjang dari yang bisa kau bayangkan. Kita bisa berjalan kaki memutari dunia, menaiki kapal mengarungi tujuh samudra, dan aku bisa jamin masih akan ada banyak dari kisah kami yang belum tersampaikan.
Aku tidak akan bosan untuk mengulangi bahwa aku membencinya. Sangat. Tapi jika bukan karena dia, aku tidak akan pernah bisa mengetahui alasan mengapa aku tidak pernah menemui akhir hayatku.
Aku, dan dia, adalah negeri dalam tubuh manusia.
“Maksudmu apa…?”
Aku juga memasang wajah yang sama sepertimu, Will. Bingung? Iya. Merasa hilang? Aku merasakan itu sampai sekarang juga, setelah ratusan tahun aku berpijak di Bumi ini. Aku, dia, dan dua ratus lainnya yang sejenis di antara kami adalah personifikasi dari sebuah negara. Untuk apa kami di sini? Itu yang selama ini menjadi pertanyaanku.
Aku berharap dia, Nederland, bisa menjawab hal itu untukku.
Mungkin aku salah jika aku hanya berharap selagi terus mengikuti jejak langkahnya untuk mencari tahu siapa diriku. Aku dan Nederland datang dari dua tempat yang berbeda, kami lahir dari tanah yang memiliki cara hidup yang kontras. Tidak mungkin tujuanku dengannya sama. Sejak lahir aku hidup di tanah di mana aku bisa menebar biji apa saja dan besok sudah kujumpai biji menjadi pohon, sementara ia datang dari negeri di mana politik lebih penting dari sesuap nasi.
Bodohnya aku tidak menyadari itu, dan bodoh juga karena aku tidak mengerti bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda pula. Sejak awal seharusnya aku sudah paham untuk jangan berharap kepadanya terlalu banyak. Nederland bukan yang pertama datang berpijak di tanahku, namun ia yang paling berkesan bagiku.
Nederland yang membesarkanku. Dalam waktu tiga ratus lima puluh tahun, aku belajar lebih banyak daripada seribu tahun sebelumnya, dan dari tiga setengah abad itu, hanya butuh waktu satu setengah abad bagiku untuk tumbuh dari anak hilang sampai jadi pria dewasa.
(Jadi, apa yang akan kau ceritakan?)
Aku sudah bilang cerita kami terlalu panjang, mungkin… Aku akan melanjutkan dari waktu di mana aku mulai beranjak dewasa sebagai seorang negeri.
Nederland selalu memanggilku Indië. Itu caranya untuk menyebut India. Dahulu kala, India bagaikan istri idaman yang ingin dipinang semua orang dari seluruh penjuru Eropa, sebab dia begitu cantik dengan dandanan dengan rempah-rempah. India mewarnai tubuhnya dengan kuning saat perayaan dengan kunyit, selagi mereka yang berada di satu daratan dengan Nederland kesulitan untuk mendapatkan sesuap kunyit demi bertahan hidup sehari lagi saja.
Indië adalah panggilan sayang untukku karena Nederland tidak berhasil bertemu dengan India. Aku bukanlah India, tapi ia yang menamaiku demikian supaya ia merasa bangga bahwa ia punya India-nya sendiri. Sehari-hari aku adalah tropi baginya, ia punya India-nya sendiri. Setiap pagi aku bangun, duduk di atas meja, makan di atas piring porselen, dan memakai baju putih dan celana hitam kecokelatan.
“Kau harus selalu bangun pagi. Jangan terlambat bangun. Hidup itu harus terjadwal.”
Setiap pagi, ia akan menggampar tanganku jika aku tidak ingin makan dengan garpu dan pisau. Aku akan marah kepadanya, lalu acara makan pagi akan berakhir dengan kami berdebat tidak penting. Siang hari ia akan mengajakku keluar, ikut melihat kantor yang penuh dengan orang-orang tua, ruangan yang bau rokok dan tua-tua yang berlalu-lalang membawa setumpukan kertas berisi pekerjaan dan keterangan dagang lainnya.
Ricuh, lebih ricuh dari pasar.
Mesin ketik belum lazim di zaman itu. Aku tidak akan bertemu dengan jari yang sibuk, tik tak tik tak . Semua masih memakai tinta dan penanya, menulis, menumpuk kertas, dan di ujung ruangan ada satu, dua orang yang mengurus semua kertas yang terkumpul, menyusunnya satu per satu untuk dikirimkan ke divisi bersangkutan masing-masing.
Ting.
Lalu aku menegok ke sebelah kiri, aku melihat seorang pria paruh baya dengan kemeja putih, tengah menghela napas. Ada senyum kecil yang nampak di wajahnya saat melihat tumpukan pekerjaannya sudah lebih surut. Wajahnya kembali memucat lagi, kerutan di kening dan di bawah matanya muncul balik saat seorang wanita muda membawakan setumpukan kertas lainnya yang perlu dikoreksi. Hidup seorang manusia demikian pendek, namun sejak zaman dahulu kala, mereka menghabiskan hidup mereka untuk bekerja dan menyaksikan jiwa kekanakan dalam diri mereka terbunuh rutinitas.
Tapi aku tidak hidup di antara mereka; waktu itu aku tidak peduli, aku terus berjalan mengikuti Nederland. Aku tidak tahu apa gerangan yang ia inginkan dariku di waktu itu, ia tidak berusaha memperlakukanku seperti babu, tapi aku bisa melihat jelas bahwa ia tidak melihatku seperti sepantarannya. Nederland juga tidak berniat memerlakukanku sebagai teman sebaya, apalagi partner kerja.
Waktu itu aku berpikir, terserahlah.
Apapun yang aku kerjakan juga tidak akan dipandang olehnya. Ia mau berusaha mendidikku, logika kami di waktu itu sama sekali tidak nyambung . Ia, berjudi dengan nyawanya sendiri, menyeberang lautan untuk mencari kekayaan, kekuasaan, lari dari segala kekangan agama yang jauh di Eropa sana.
“Lambat.”
Di waktu itu aku tidak sadar.
“Kau yang berjalan terlalu cepat, jangkrik .”
Sepertinya baik aku dan dia, kami sama; sama-sama ingin lari dan mencari hidup baru.
“Ini semua aset yang ditinggalkan VOC… kami sudah menghitung semua aset yang bisa diberdayakan ulang lagi oleh Holland.”
Aku ingat kompeni itu sudah tidak lagi berkuasa di tanahku. Katanya bangkrut, gagal, kandas semua uangnya. Bahasa mereka susah, dan rutinitas yang nampaknya mudah itu cepat berganti menjadi sesuatu hal yang baru.
“Ada masalah dengan proses transisi?” Nederland bertanya kepada lelaki dengan kumis yang ditata rapi itu, aku tidak peduli untuk tahu soal namanya juga.
“Tidak ada masalah sejauh ini, tuan van Kanne.”
Johann van Kanne adalah nama yang dipakai Nederland di antara manusia biasa. Manusia berkumis itu, yang melirikku dan memberikan jasnya selagi berjalan di samping Nederland, juga mengenalnya sebagai Johann van Kanne. Aku baru saja hendak marah, tapi lirikannya membuatku takut. Nederland tinggi. Menyeramkan. Waktu itu aku masih pendek, jadi aku terpaksa diam dan membawakan saja jaket pria sialan itu.
Mereka terus berbicara dalam bahasa Belanda, dalam terminologi yang sulit dipahami. Aku yang kala itu masih tidak paham betul bahasa Belanda hanya bisa berdiri, diam, dari ujung ruangan berusaha mengerti untuk mengetahui apa yang sebenarnya Nederland inginkan dariku. Bagaimana supaya aku bisa mengusir pria jahanam ini dari tanahku? Aku sudah lelah diperlakukan seperti ini olehnya, ini melelahkan.
“Jadi… sepertinya tuan van Kanne memiliki babu baru?”
Burung bercicit di luar, daun berguguran, ruangan menjadi hening selagi aku berusaha untuk menahan amarah. Persetan dengan si kumis brengsek. Aku berdecak kecil, babu? Tega.
Tapi Nederland hanya tersenyum, ia mengambil setumpukan kertas yang diberikan oleh si kumis, dan memberikan balik jasnya dari tanganku, menekan jas abu-abu muda itu di dada pria tersebut.
“Babu? Lucu sekali.” Aku ingat dia hanya tertawa lalu berjalan keluar ruangan. “Nanti akan kuminta orang dari stadhuis untuk membawakan hasil laporanku. Permisi.”
Siang hari kami akan makan lagi. Di rumah, mbok sudah menyediakan makan siang, dan selagi kami makan, ia sudah mulai untuk memasak jamuan malam. Sepertinya sibuk sekali, tapi kudengar nanti malam memang akan ada jamuan di rumah ini.
Batavia bukan kota yang ramai, tidak seperti di Soerabaja atau Samarang. Hiburan hanya ada di rumah-rumah kecil, dan siang menjelang sore hari tidak ada bapak-bapak yang duduk bersantai di warung kopi dengan kretek yang dilinting sendiri, hal seperti itu baru akan kau jumpai jika malam menjelang dan bulan bersinar terang di langit. Siang menuju sore seperti ini, jalanan akan ramai dengan anak-anak kecil, memikul barang-barang jualan mereka, mengasongkan kepada ibu-ibu Eropa dengan anak-anak kecilnya yang memohon untuk dibelikan satu atau dua perahu seng. Jalanan ramai dengan bocah-bocah yang begitu bebas di jalan raya yang panas, lari tanpa alas kaki, tidak peduli jika jemari kaki mereka akan kapalan.
“Aku juga ingin main keluar.”
Nederland mendengar gumaman kecilku. Aku sudah terlanjur tidak suka dengan apapun yang akan ia keluarkan dari mulutnya. Jika tidak menghinaku, pasti itu semua hanya akan mengomentari betapa ada banyak hal yang harus berhenti kulakukan agar bisa menjadi personifikasi yang lebih baik.
“Kau bukan anak kecil lagi.”
Memang tidak.
Tapi apa salahnya.
“Aku tetap ingin main.”
Ada wewangian rempah dari cangkir porselen di tangannya. Kopi Jawa memang wanginya beda sendiri, dari ujung ruangan pun aku masih bisa menciumnya. Sesaat kemudian, Nederland menghirup kopi tersebutーDia memang menyukai kopi, tidak sepertimu, Will.
“Indië, kau benar-benar tidak punya impian untuk jadi negeri yang besar?”
Bagaimana ingin punya mimpi kalau aku saja tidak tahu jenis macam apakah diriku. “Aku bukan sepertimu yang punya ratu yang pasti. Kau lihat sendiri di luar Jayakartaー”
“ーBatavia.”
“Jayakarta. Berisik.” aku berdecak lagi.
“Terserahmu.” Nederland nampak mendengus, raut wajahnya jelas nampak bahwa ia benar-benar sudah lelah dengan segala kelakarku. Tidak seperti aku peduli bagaimana ia mau menanggapiku. “Ada apa di luar Batavia , hmm?”
Bajingan.
“Ada orang-orang sepertiku lagi.” Aku menjawab Nederland, cukup , percuma saja melawan si brengsek ini. “Mereka punya raja dan ratunya sendiri, dengan istana-istana mereka yang megah. Aku tidak punya apa-apa, sudah jalan dari ujung pulau ke yang lainnya, sudah lewat berbagai macam hutan dan sungai pun, aku tidak punya kerajaan seperti itu.”
Lalu aku ini apa.
“Aku tidak tahu aku ini siapa, atau ada untuk apa.”
Nederland tidak menjawabku di waktu itu, tapi bukan bermaksud menghina. Ia bisu seketika karena ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, mungkin baginya aneh, baru pertama kali bertemu dengan yang serupa dengannya, yang sudah hidup sejak zaman dulu kala dari masa yang hilang, tapi seribu tahun lebih pun masih belum menemukan makna dirinya.
“Kau sama sekali tidak tahu apa-apa?”
Aku menggeleng.
“Memang bagaimana kau… menerima ‘panggilan’-mu?”
Aku juga tidak yakin dengan istilah yang kugunakan.
“Ya, kau… lakukan saja. Kau lahir dengan itu, mendengar suara rakyat…”
Aku masih tetap tidak mengerti, setelah itu pun aku bertanya, tapi Nederland juga tidak memberikan jawaban lebih lanjut atas segala pertanyaanku yang semakin hari semakin menumpuk, dan belum ada satu pun yang terjawab juga.
Kehidupan kami selama beberapa tahun pertama hanya seperti itu. Bangun pagi dengan ribut, aku makan di lantai dengan meja pendek yang tidak lebih tinggi dari satu betis, selagi ia di atas meja dengan porselen dari Timur Jauh. Kami tidak memiliki sebuah ikatan yang kuat, dan tidak ada kepedulian secara emosional; tidak seperti hal itu penting juga. Nederland yang hanya berpikir untuk memberdayakan diriku sesuai keuntungannya, memanfaatkan bagaimana rasa kehilanganku yang tidak tahu siapa aku ini, apa gerangan takdirku; dan aku yang masih berusaha mencari tahu bagaimana supaya Nederland bisa beranjak pergi dan pergi selamanya dari tanahku, dari rumahku .
Kenyataannya, ia tidak akan mengubah pikirannya atau cara bekerjanya andai saja England tidak datang di tahun 1811.
Di saat itu aku berpikir, dua abad penuh dengan gangguan darinya sudah cukup.
“Jadi, ini adalah dunia di mana setiap negeri punya personifikasi?”
Rangga mengangguk, ia tersenyum saat melihat Will nampak bersemangat untuk menulis ceritanya. “Ada kesulitan?” Rangga bertanya kepada Will, sesekali melirik bagaimana tulisan pria itu.
Andai ini yang terjadi di 1939, mungkin Rangga akan lebih bahagia dan tidak usah bertemu dengan Nederland dalam situasi seperti ini.
“Oh, ceritamu… Aku sedikit bingung karena kau suka bercerita di luar konteks.” Ia masih berkonsentrasi untuk melanjutkan mengetik cerita Rangga. “Sebentar.”
Ruangan itu kembali jatuh dalam diam. Rangga berjalan keluar dari ruangan. Ia tidak bermaksud untuk keluar diam-diam, tapi sepertinya Will tidak menyadari kalau Rangga sudah tidak ada di tempat lagi.
Jika ada yang berkata bahwa Will bukan Nederland yang ia cari, Rangga tidak akan percaya. Ia memang bukan penyuka kopi seperti Nederland, namun jemari kelingkingnya yang terangkat sedikit bak bangsawan setiap kali tangan kekar itu mengangkat cangkir porselen yang rapuh, sarkasmenya, dan semua gerak-geriknya sama seperti dia . Segalanya mengingatkan akan masa lalu dan segalanya yang belum sempat tersampaikan.
Rangga hanya tersenyum kecil.
Sepertinya semesta masih mencintainya, memberikan kesempatan terakhir untuk berjumpa dengan pria itu.
Ctak.
“Sekali lagi.”